Aku Pasti bisa!! لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupa...
Aku Pasti bisa!!
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286).
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah: 185).
Agama Islam ini dibangun di atas kelembutan, kasih sayang, dan kemudahan, oleh karena itulah ciri khas agama Islam ini adalah mudah dipahami dan mudah diamalkan. Perlu diketahui, ditinjau dari kemampuan seorang hamba dalam melakukannya, suatu perkara itu terbagi menjadi dua, yaitu:
Perkara di Luar Kemampuan Seorang Hamba, maka Allah Ta’ala tidak membebani seorang hamba untuk melakukan perkara jenis ini.
Perkara yang Berada di Dalam Kemampuan Seorang Hamba, maka untuk perkara jenis ini, masih terbagi menjadi dua macam, yaitu:
– Allah Ta’ala Tidak Memerintahkan Sebagian Perkara Jenis Ini, padahal hamba-Nya mampu melakukannya. Hal ini merupakan wujud kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, seperti perkara-perkara yang hukum asalnya mubah yang mampu dilakukan oleh hamba-Nya, perkara tersebut tidaklah disunnahkan dan tidaklah diwajibkan.
– Allah Ta’ala Memerintahkan Sebagian Lainnya dari Perkara Jenis Ini kepada Hamba-Nya, karena memang hikmah Allah menuntut seorang hamba untuk melakukannya, baik itu hukumnya sunnah maupun wajib, demi tercapai tujuan hidupnya dan bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Banyak orang memahami ayat ini dengan mengatakan, kemampuan yang dimaksud dalam ayat ini adalah batasan minimal kemampuan seseorang. Oleh karena itu, kemampuan dapat berubah-ubah tergantung dengan motivasi. Ada orang yang tidak mampu, ada orang yang mampu. Tentu saja pendapat ini keliru. Sebab, para sahabat mencontohkan secara nyata kepada kita bahwa mereka berkomitmen dengan seluruh kapasitas kemampuan mereka.
Jika kita buka lembaran sirah sahabat, kita dapati kebanyakan mereka wafat di luar negeri. Abu Ayub Al-Anshari misalnya. Beliau wafat di Benteng Konstantinopel. Ummu Haram binti Milhan berakhir hidupnya di Pulau Qobros, Yunani. Uqbah bin Amir meninggal di Mesir. Bilal dimakamkan di Syria. Demikianlah mereka mengembara ke segala penjuru dunia untuk berdakwah. Mereka mengerahkan semua yang berharga dalam hidupnya untuk meninggikan panji Islam. Begitulah semestinya memahami ayat لا يكلف الله نفساً إلا وسعها.
Pada Perang Uhud para sahabat tetap memenuhi seruan Allah untuk mengejar orang-orang musyrik. Usaid bin Hudhair r.a. berkata, “سمعاً وطاعة لله ولرسوله”. Ia langsung menyiapkan senjatanya, padahal ia baru saja mengobati tujuh buah luka yang bersarang di tubuhnya. Bahkan dalam peperangan “Hamra Al-Asad”, empat puluh orang sahabat masih tetap keluar ikut berperang meski mereka masih dalam keadaan terluka. Di antara mereka adalah Thufail bin Nu’man dengan 13 luka di tubuhnya dan Kharrasy bin As-Simmah dengan 10 luka di tubuhnya. Semua menunjukan bahwa:
“الإرادة القوية تبذل من الجهد ما يتحدى المصاعب والآلام. وأن الإرادة الضعيفة عاجزة حتى مع وجود الوسائل والإمكانيات.”
“Kemauan yang kuat akan mengerahkan seluruh kesungguhan, walau menghadapi banyak kesulitan penderitaan. Sebaliknya, kemauan yang lemah menjadi tak berdaya meskipun sarana dan waktu tersedia.”
Karena itulah Allah swt. menyebutkan sikap mereka dalam Al-Qur’an:
الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ
“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa, ada pahala yang besar.” (Ali Imran: 172)
Allah Maha Mengetahui bahwa kebahagiaan dan ketentraman hamba-Nya akan terwujud dengan melakukan perkara tersebut. Jadi, sesungguhnya diperintahkannya perkara jenis ini, bukanlah karena Allah membutuhkan ketaatan hamba-Nya, tidaklah demikian. Allah tidak membutuhkan makhluk-Nya sedikit pun, justru makhluk-Nya lah yang tidak pernah terlepas dari membutuhkan Allah walau sesaatpun.
Meski demikian, untuk perkara yang berada didalam kemampuan seorang hamba ini, jika dalam pelaksanaannya seorang hamba menemui kesulitan atau keberatan di luar kewajaran, maka Allah pun tetap menyayangi hamba-Nya dengan memberikan keringanan dan kemudahan, dengan dua bentuk berikut ini, yaitu:
a) Peringanan dan Pemudahan, dengan tetap diperintahkan melakukan, namun tidak dalam bentuk sempurna seperti pada asalnya ketika tidak muncul kesulitan atau keberatan di luar kewajaran.
Contohnya: Tayammum ketika berat menggunakan air, duduk ketika tidak mampu berdiri dalam shalat, meringkas shalat dalam safar, serta menjamak dua shalat fardhu dalam keadaan sulit melakukan keduanya dalam waktunya masing-masing,
b) Pengguguran Totalitas, sama sekali tidak diperintahkan ketika itu. Contohnya: pengguguran kewajiban, seperti gugurnya kewajiban shalat jum’at karena ada halangan, serta gugurnya kewajiban ibadah haji dan umrah jika tidak mampu.
Inilah agama Islam yang sesuai dengan fitrah dan kemampuan manusia, karena di antara manusia ada yang mendapatkan keadaan-keadaan yang sulit atau berat, seperti sakit, keadaan terpaksa, lupa, safar, tidak tahu, kekurangan, dan keadaan sulit yang lainnya.
Maka jika seorang hamba menemukan keadaan-keadaan tersebut di luar kewajaran, maka dalam Islam terdapat solusi yang mudah dan ringan. Kemudahan dan keringanan dalam Islam ini merupakan wujud kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan bukti bahwa Allah menurunkan agama Islam bukan untuk memberatkan dan menyulitkan hamba-Nya, namun justru demi kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Jadi, sesungguhnya hamba-Nya lah yang membutuhkan ajaran agama Islam tersebut agar tercapai tujuan hidupnya dan bahagia di dunia dan akherat.
COMMENTS